Rabu, 22 April 2009

Benarkah Tasawuf Dari Budha?

www.tasawufislam.blogspot.com: Segelintir orang masih ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari budha, sehingga di kalangan ummat Islam meragukan keberadaan ilmu tasawuf di jagat Allah ini. Lewat tulisan ini saya menjelaskan bahwa tasawuf dan ilmu tasawuf bukan berasal dari Budha. Tidak ada tasawuf di Budha, silahkan anda teliti dan anda buktikan. Orang mengaitkan tasawuf berasal dari budha biasanya dari :
1. Kebiasaan para sufi memakai tasbih dalam berzikir mirip dengan tasbih yang dipakai oleh para pendeta Budha.
2. Kebiasaan peri kehidupan para Sufi suka menyendiri, mirip dengan kebiasaan para pendeta Budha.
3. Kebiasaan para sufi hidup membujang, mirip dengan kebiasaan para pendeta Budha gemar hidup membujang.

Perlu saya jalaskan bahwa kebiasaan para sufi memakai tasbih, bukan meniru kebiasaan para pendeta Budha, tetapi meniru kebiasaan para salaf sufi memakai tasbih dalam menghitung peningkatan jumlah zikrullah yang dijadikan ritual ibadah para sufi setiap harinya. Jika jumlah zikrullah yang diucap dalam hati lebih banyak kemarin dari hari ini, maka para sufi beranggapan hal itu suatu kerugian besar. Jika jumlah zikrullah yang diucap dalam hati hari ini sama dengan hari yang kemarin, berarti belum beruntung. Tetapi jika jumlah zikrullah yang diucap dalam hati lebih banyak hari ini dari hari-hari kemarin, maka itulah keberuntungan yang sesungguhnya. Jika para pendeta Budha memutar tasbihnya untuk mengingat para patung Dewanya yang nama patung itu disesuaikan dengan selera para pendirinya, tetapi tasbih di tangan para sufi untuk menginat Allah SWT. Jika tasbih di tangan para pendeta Budha untuk jadi zimat benteng pagar diri dari apa yang mereka sangsikan, tetapi tasbih di tangan para sufi untuk zikrullah kepada Allah SWT. Batu tasbih dan kayu tasbih dari apapun dia dibuat, itu merupakan ciptaan Allah SWT, bukan cuma hak pendeta Budha yang boleh menggunakannya, tetapi para sufi juga punya hak memakainya. Benda boleh sama, tetapi beda niat dan tujuannya, segala amal tergantung niatnya.

Para pendeta Budha menyendiri untuk berlama-lama berdua-dua dengan para patung Dewanya dan dengan para Dewa goibnya, nikmat mereka rasa dapat selalu berdua-dua dengan Sang Dewa yang mereka yakini sebagai Tuhannya. Berbeda dengan para sufi, para sufi gemar menyendiri untuk memadu konsentrasi jiwa raganya (khusu') menghadap satu-satunya Tuhan di jagat Allah ini yaitu Allah SWT, ni'mat rasanya dapat selalu berdua-dua dengan Allah Zat yang tidak pernah beranak pinak, yang keberadaannya tidak mirip dengan apapun dan tidak sama dengan siapapun di jagat Allah ini yang tidak pernah menyurupi apapun dan siapapun di bumi Allah ini, yang ruhNya ada di setiap benda hidup dan makhluk hidup tanpa kecuali (baik itu makhluk syettan, sampai makhluk yang kesyetanan sekalipun).

Para pendeta Budha hidup membujang karena takut Dewanya cemburu kepadanya dan takut perkawinan menjadikan hatinya lalai dari dekat kepada Sang Dewa. Berbeda dengan sufi yang gemar hidup membujang, bukan karena takut Allah cemburu kepadanya, tetapi karena kehidupan para sufi tidak layak untuk berumah tangga, disebabkan tingkat perekonomian para sufi berstatus sebagai kaum dhu'awa (fakir dan miskin), namun para sufi yang memiliki status perekonomian menegah ke atas tetap saja tidak tahan hidup membujang, Rasul aja nikah kok kita para pengikutnya tidak doyan nikah? Nikah itu nikmat, halal dan wajib hukumnya, sekali lagi: Wajiiib hukumnya, nikahlah !!!... Ni'maaat buanget.

Maka dengan demikian, batallah semua pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf dan ilmu tasawuf berasal dari Budha, tetapi Tasawuf dari Allah SWT, fahimtum? www.masgunonline.blogspot.com

Selasa, 21 April 2009

Benarkah Tasawuf Berasal Dari Hindu?

www.tasawufislam.blogspot.com: Ada kalanya orang menilai sesuatu dari segi kemiripan dan persamaan, sehingga sesuatu dikait-kaitkan untuk mengelabui sesuatu seolah-olah berasal dari sesuatu, pada hal sesuatu jika dikaji lebih dalam lagi tidak berkaitan dengan sesuatu lainnya yang mereka kait-kaitkan itu. Segelintir orang meyakinkan orang lain tentang asal muasal tasawuf berasal dari Hindu, mereka biasanya melihat dari sisi kesederhanaan kehidupan para sufi mirip dengan kesederhanaan kehidupan para pendeta Hindu dan kebiasaan sufi seolah mirip dengan kebiasaan para pendeta Hindu yaitu suka menyendiri. Bah puang, parah, salah faham doi, beda dong.

Para pendeta Hindu hidup sederhana karena takut bermewah di hadapan para roh sembahannya, yang disembah para pendeta Hindu adalah roh. Berbeda dengan kaum sufi, para sufi adalah Muslim (beragama Islam), hidup sederhana karena anjuran dan sunnah Rasulullah, yang disembah para sufi adalah Allah Subhanahu Wata'ala. Para Sufi menyendiri untuk ritual ibadah zikrullah, karena sangking cinta dan rindunya kepada Allah sehingga para sufi ingin berdua-duaan dengan Allah, sementara para pendeta Hindu menyendiri ingin berdua-duaan dengan roh-roh gentayangan sembahannya dalam rangka mencari wangsit roh. Para pendeta Hindu tidak sholat, tidak zikrullah dan tidak berdo'a kepada Allah dan bahkan tidak kenal dengan Allah. Bedakaaan?

Maka batallah semua pendapat yang mengatakan bahwa Tasawuf berasal dari Hindu, sebab Tasawuf tidak ada dalam Hindu, karena Tasawuf hanya ada dalam Islam diproklamirkan oleh 'Ulama Islam dan bukan diproklamirkan oleh para Pendeta Hindu. Tasawuf diamalkan oleh Muslim dan bukan oleh penganut Hindu. Tasawuf mencontohkan akhlaq Muhammad SAW dan bukan mencontohkan ritual pendiri Hindu. Fahimtum? Camkan itu, begitu kata Kiyai Mas Gun di hadapan para Mahasiswanya saat memberi kuliah Ilmu Tasawuf di hari ini. www.tasawufislam.blogspot.com

Senin, 20 April 2009

Dasar-Dasar Filosofi Ahwal Dan Maqamat

www.tasawufislam.blogspot.com: Dunia tasawuf diliputi oleh filosofi, dimaksudkan agar para santri mudah memahami makna ritual yang akan diamalkan, karena pada hakikatnya ada hikmah yang akan dipetik dari semua tahapan riadhoh yang akan dikerjakan para santri dalam beramal, sejak riadhoh ahwal hingga riadhoh puncak maqamat. Sebelum para santri memulai riadhohnya, pada umumnya sang Kiyai (Syekh atau Mursyid) memberikan keterangan kepada santrinya hikmah amalan yang akan diriadhohkan dengan cara memberikan berbagai tamsilan-tamsilan dan tamsilan tersebut dikenal dengan istilah filosofi di kalangan para cendikiawan.

Pada ahwalnya semua orang yang baru memasuki dunia tasawuf difilosofikan sebagai kain kotor, sang mursyid difilosofikan sebagai tukang cuci kain (pelayan), ritual ibadah difilosofikan sebagai detergennya, tahapan maqamat difilosofikan sebagai embernya dan kesungguhan santri dalam ritual setiap maqam difilosofikan sebagai airnya. Dalam proses ritual maqamat sejak ahwal ilal akhir saling mendukung dan berkaitan, tidak satupun yang dapat diabaikan.

Pada umumnya ada 3 (tiga) tahapan maqamat:
1. Membersihkan diri dari segala sifat negatif.
2. Mengisi diri dengan sifat positif.
3. Terbukanya hijab antara hamba dengan Allah.

Para santri ahwal beriadhoh membersihkan dirinya dari segala sifat negatif yang tidak diridhoi oleh Allah dan Rasul di bawah asuhan sang mursyidnya. Sang mursyid dianggap sebagai ayah dan santri dianggap sebagai anaknya. Sang mursyid tidak ingin anaknya membawa noda menghadap Allah, maka sang mursyid berkewajiban membukakan jalan santri menuju penyucian diri dari segala sifat negatif. Maka ilmu ahwal yang diajarkan sang mursyid kepada santrinya berupa pengenalan sifat-sifat negatif dalam diri dan cara membersihkannya menurut tuntunan Al-Qur'an dan Al-Hadits. www.tasawufislam.blogspot.com

Senin, 13 April 2009

Dalil Ilmu Tasawuf Dalam Al-Qur'an Dan Hadits

www.tasawufislam.blogspot.com: Nilai-nilai ajaran tauhid, fiqih dan akhlaq sering dilihat kecenderungannya pada bentuk formalnya saja, khususnya bidang ilmu yang mengambil bentuk prilaku lahiriyah sebagaimana yang tampak dalam ilmu syari'at. Formalisme dalam ritual Islam dipandang amat merugikan, maka Allah mengingatkan kita terhadap adanya bahaya formalisme, sebagaimana firman Allah:

وَإِنَّ رَبَّكَ لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ

Artinya: "Dan sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan." (Q. S. 27. An-Naml, A. 74).

Ayat yang saya tulis di atas menunjukkan pada kita bahwa formalitas belum tentu sesuai dengan kegaiban dalam fikiran (jalan fikiran) dan kegaiban dalam hati (niat dan hajat dalam hati). Tidak sedikit orang sholat secara jasadi, namun hati dan fikirannya sesungguhnya bukan sedang sholat. Banyak orang jasadnya berwudhu' (bersuci, thoharoh jasadi), tetapi hati dan fikirannya masih dipenuhi virus-virus goibis sayithon, seperti iri, dengki, hasad, hasud, hasumat, dendam, riya dan lain sebagainya, dan masih banyak sederetan contoh lainnya yang dapat kita tuliskan dari hasil pengamatan kita terhadap laku orang perorangan di sekitar kita yang dapat kit ambil pelajaran darinya bahwa formalisme pada hakikatnya lebih cendrung merugikan nilai-nilai spiritual kita, itu sebabnya Allah menyatakan bahwa Dia (Allah) benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati dan apa yang mereka nyatakan.

Penekanan pada formalisme seperti dalam ilmu syari'at ibadah yang lebih cenderung menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah dan batal dalam ritual ajaran Islam dengan tanpa diiringi penghayatan di dalamnya, tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan akhlaqul karimah untuk menjadi insanul kamil, insanul muttaqin dan insanul muhsinin. Hal ini disebabkan karena pengutamaan terhadap formalitas saja dapat berakibat ruh ritual ibadah tidak dapat dirasakan, yang dirasakan hanyalah kesibukan ritual jasad yang kering, kurang bermakna pada penjiwaan ritual pelakunya. Padahal pengamalan ritual ajaran Islam senantiasa menuntut laku ritual secara sadar dengan menghadirkan hati dan fikiran serta segenap jiwa dan penjiwaan terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang sedang diamalkan. Karena itulah sangat diperlukan pengajaran ilmu penghayatan nilai-nilai spiritual ajaran Islam. Tentu saja hal ini bukanlah merupakan pekerjaan semudah membalikkan telapak tangan, tetapi diperlukan riyadhoh istiqomah yang dilakukan dengan terus menerus secara bertahap dan berkesinambungan. Karena pada hakikatnya Islam menginginkan keterkaitan nilai-nilai aspek ritual jasadi dengan ritual batini.

Karena ritual dualistis (jasadi dan batini) itulah maka tidak heran jika diri kita senantiasa menginginkan adanya kekuatan kontak antara ritual akhlaq jasadiyah yang lebih cenderung medium formal dengan ritual akhlaq batini yang lebih cenderung non medium formal, sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian berbagai ritual syari'at ibadah jasadi (wudhu, puasa, infaq, shodaqoh, zakat, haji dan akhlaq fositif lainnya) kontak dengan ritual ibadah batini terfokus dan terkonsentrasi pada satu arah tujuan yang pasti hanya kepada Allah dan ikhlas karena Allah yang realita ZatNya berwujud goibi, imani, hayati, maknawi, ruhani dan nurani, bukan jasadi. Namun ritual akhlaq Islami tidaklah dilakukan secara batini semata, tetapi juga harus diiringi dengan ritual ibadah jasadi, kecuali dalam keadaan darurat jasadi seperti sakit dan sebagainya yang tidak memungkinkan ritual ibadah jasadi dilakukan, maka ritual ibadah batini sah dilaksanakan. Ritual ibadah jasadi dalam bentuk ucapan dan ritual perbuatan nyata, di dalamnya mengandung maksud tujuan untuk mempengaruhi batini dan menuntun aqal fikiran dan qolbi dalam rangka upaya penghayatan terhadap ibadah yang akan, sedang dan telah dilakukan. Dengan demikian ritual ibadah yang dilakukan itu, selain mengandung hikmah untuk penghayatan pengabdian diri kepada Allah Zat Yang Maha Goib, juga ritual tersebut mengandung efek kesucian jasadi wal batini dan menjadikan pelakunya jauh dari virus-virus kemungkaran. Dengan penghayatan spiritual seperti ini, sistem nilai yang berkaitan dengan keimanan dan keakhlaqan berpadu utuh dengan sistem norma dalam syari'at Islam.

Sejalan dengan itu, Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai pedoman dan tuntunan abadi kita sepanjang masa, pastilah di dalamnya terkandung nilai-nilai spiritual di samping nilai-nilai lainnya. Berbagai ayat dalam Al-Qur'an dan sabda Rasul dalam kitab Al-Hadits menunjukkan secara jelas kepada kita bahwa nilai-nilai spiritual itu memang ada, diantaranya sebagai berikut:

وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q. S. 2. Al-Baqoroh, A. 115).

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Artinya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q. S. 2. Al-Baqarah, A. 186).

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

Artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Q. S. 50. Qof, A. 16).

فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً

Artinya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Q. S. 18. Al-Kahfi, A. 65).

Demikian juga halnya dengan Al-Hadits, diantara sekian banyak Hadits Rasul yang menjelaskan tentang nilai-nilai spiritual, yang sering kita dengan dan kita ucapkan adalah:

"Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Pada suatu hari, Rasulullah saw. muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seorang laki-laki dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawab: Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawab: Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan aku ceritakan tanda-tandanya; Apabila budak perempuan melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Kemudian orang itu berlalu, maka Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw. bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama mereka." (Shahih Muslim No.10).

Nilai-nilai spiritual yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits itulah yang menjadi dalil utama keberadaan ilmu tasawuf di jagat Allah ini. www.tasawufislam.blogspot.com

Artikel ini ditulis oleh: Drs. P.M. Gunawan Nst. (Dosen Ilmu Tasawuf di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah (STITM) Sibolga.

Hukum Dalam Islam

HUKUM DALAM ISLAM

www.tasawufislam.blogspot.com : Hukum dalam syari'at Islam ada 5 (lima) kategori, yaitu:
1. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan, jika dikerjakan berpahala dan jika tidak dikerjakan berdosa.
2. Sunat, yaitu anjuran. Jika dikerjakan berpahala dan jika tidak dikerjakan tidak berdosa.
3. Mubah, yaitu boleh. Jika dikerjakan tidak berpahala dan tidak berdosa, jika ditinggalkanpun tidak berdosa dan tidak berpahala.
4. Makruh, yaitu larangan ringan. Jika dikerjakan tidak berdosa, tetapi jika ditinggalkan mendapat pahala.
5. Haram, yaitu larangan keras. Jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan berpahala. www.tasawufislam.blogspot.com
Sumber:
http://www.faqihmuda.blogspot.com

Kamis, 02 April 2009

Kiblat Sufi

KIBLAT SUFI
Oleh: Drs. P.M. Gunawan Nst.

www.tasawufislam.blogspot.com: Sufi adalah kaum muslimin yang berupaya mensucikan dirinya dari segala dosa dan kesalahan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, baik secara zhohir maupun batin, dengan memilih jalan zuhud dan kerendahan hati, sehingga terdelete semua sifat-sifat buruk dari dalam dirinya dan terisi dirinya dengan sifat-sifat kebajikan, maka dengan itu pulalah terbuka pintu hijab antara dirinya dengan Allah Subhanahu Wa ta'ala.

Bukanlah sufi jika merunduk sujud di depan para benda, tumbuhan, makhluk hidup dan makhluk mati. Para sufi hanya tunduk, sujud, patuh dan ta'at kepada Allah saja dengan bimbingan Allah dan Rasul (Al-Qur'an Dan Al-Hadits). Namun sufi bukanlah orang yang menjadikan Al-Qur'an sebagai zimat, tetapi menjadi Al-Qur'an sebagai pedoman utama dalam berjalan menuju Allah Zat yang sangat dirindukan. Perjalanan sufi disebut tariqat, karena tariqat artinya adalah jalan. Jalan yang harus ditempuh telah jelas dan dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur'an dan Rasul dalam Al-Hadits.

Rasul walaupun manusia, namun Rasul adalah orang-orang yang telah terlebih dulu disucikan oleh Allah, diawasi oleh Allah, dibimbing dan dilindungi oleh Allah. Jalan para Rasul sejak Adam sampai Muhammad SAW menuju Allah itulah yang dilanjutkan dalam perjalanan para sufi sepanjang hayat di kandung badan. Tidak ada manusia yang lebih suci dari para Rasul/Nabiyullah. Tidak ada manusia yang lebih pintar dari para Rasul/Nabiyullah. Tidak ada manusia yang lebih hebat dari para Rasul/Nabiyullah. Maka para sufi wajiblah mengikuti jejak langkah yang telah dirintis oleh para Rasul/Nabiyullah, seperti yang telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur'an dan Muhammad SAW dalam Al-Hadits.

Maka kiblat yang dipilih oleh para sufi adalah kiblat yang dipilih oleh para Nabi/Rasulullah. Setelah ditelusuri dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, ternyata para Nabi/Rasulullah hanya memilih Allah sebagai kiblatnya, maka Allah pulalah yang menjadi kiblatnya para sufi. Mulut bisa saja berkata apa saja, karena lidah tidak bertulang, tetapi hati tetap berkiblat hanya kepada Allah, terbukti dengan zikir Allah yang selalu terucap di hati para sufi, online 24 jam/hari, walau mulut berbicara, namun sambil bicara hatinya berzikir kepada Allah, sehingga mulut para sufi tidaklah berkata apapun tanpa izin dan ridho Allah saja, tiada terhalang oleh apapun di jagat ini.

Mata bisa saja melihat apapun yang disuka, namun hati sufi tetap online berzikir, sambil mata melihat segala, hati berzikir, sehingga mata tidak mampu lagi melihat segala hal yang tidak diizinkan oleh Allah, jika mata itu ngotot juga melihat hal yang tidak diridho Allah, maka mata itupun jadi buta.

Telinga bisa saja mendengar apapun yang telinga inginkan, namun sambil mendengar, hati sang sufi online berzikir kepada Allah, sehingga telinga tidak mampu lagi mendengar apapun tanpa izin dan mardhotillah. Jika telinga masih ngotot mendengar hal-hal yang Allah tidak suka, maka telinga itu jadi tuli. Maka jika hati tetap online berzikir kepada Allah, pastilah telinga takut mendengar hal-hal yang Allah tidak suka, sebab telinga berkiblat kepada Allah, telinga juga sujud dan patuh kepada Allah. Lihatlah telinga kita, dia tidak mampu terdiri tegak semua, para hujung atas daun telinga merunduk kepada kepada Allah, itu tandanya telinga ta'at kepada Allah, namun harus diiringi dengan keta'atan hati kepada Allah, agar telingapun ikut ta'at kepada Allah.

Tangan bisa saja meraba, memegang, menjangkau dan meraih apapun yang dia suka, namun tatkala tangan jasad bergerak, hati sufi online zikir kepada Allah, sehingga para tangannya tidak lagi mampu menjangkau sesuatu yang tidak diridhoi Allah. Maka sukseslah tujuan wudhu'nya tatkala membasuh tangan untuk mensucikan tangannya dari segala dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat oleh tangannya. Selanjutnya tangannya hanya mampu menjangkau segala hal yang Allah izinkan saja.

Kaki bisa saja melangkah kemanapun yang dia suka, namun tatkala para sufi melangkah, hatinya online menghadap Allah, sehingga kakinya tidak lagi mampu melangkah ketujuan yang Allah tidak izinkan. Jika si kaki ngotot juga melangkah, maka kaki itu bukan kakinya para sufi, sebab kaki sufi perjalannya sudah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur'an dan oleh Rasul dalam Al-Hadits.

Aqal bisa saja berfikir apa saja yang difikirkannya, namun sambil berfikir, para sufi tetap online menyebut asma zatillah. Asma Zatillah adalah ALLAH. Sehingga aqal para sufi tidak mampu lagi menerawang segala hal yang Allah tidak izinkan, maka aqal sufi hanya menerawang segala hal yang Allah ridhoi saja. Jika aqal itu memaksakan diri berfikir segala hal yang tidak diizinkan Allah, maka aqal itu bukanlah aqal sufi, kemungkinan besar adalah aqal-aqalan. Aqal-aqalan bukanlah aqalnya para sufi, sebab aqal sufi berkiblat kepada Allah, karena sambil berfikir para sufi juga online hatinya berzikir kepada Allah.

Mata bisa saja tidur jika telah mengantuk, namun hati sufi di haramkan tertidur, untuk itu sebelum tidak di samping membaca do'a mau tidur seperti yang diajarkan oleh para faqih, maka para sufi juga berdo'a kepada Allah: Yaa Allah, izinkan dan biarkanlah mataku tertidur dalam kuasaMu, namun tetapkanlah hatiku selalu menyebut ZatMu. Maka irama yang mengiringi para sufi dalam pembaringannya adalah irama hati menyebut AsmaNya, sehingga mimpi yang mendatangi dalam tidur sufi adalah mimpi-mimpi ilhamullah atau hidayatullah. Jika para sufi bermimpi negatif dalam tidurnya, kemungkinan besar disebabkan ada sesuatu yang kurang pas dalam perjalanan hidupnya di bumi Allah ini.

Sungguh mulia para sufi tercerahkan, hatinya penuh cahaya, sebab sufi selalu berdo'a: Allahumma Robbi habli Nuurun 'alan Nuurin fi qolbi. Yang dipinta bukan sekedar cahaya, sebab banyak cahaya pada benda-benda angkasa seperti matahari, rembulan, bintang gemintang, listrik, lampu, api dll. Para sufi tidak memandang cahaya, namun memandang cahaya di atas cahaya. Cahaya di atas cahaya itu adalah Annuur, dan Annur itu adalah Allah Zat yang Maha Bercahaya. www.tasawufislam.blogspot.com